Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Political & Government Science’ Category

Berita dari harian Sijori Mandiri ini sengaja saya kutip untuk bahan diskusi. Temanya “Caleg Kok Ramai Amat Yah?”.

Di tengah krisis ekonomi Global yang melanda, berdampak kepada krisis lapangan kerja, sehingga menjadi Calon Anggota Legislatif (CALEG) nampaknya menjadi alternatif paling menarik untuk mencari pekerjaan.  Maka sepertihalnya lowongan untuk menjadi PNS, lowongan untuk menjadi CALEG (lebih…)

Read Full Post »

Reformasi di bidang politik sesungguhnya dapat tergambar terutama dalam sistem Pemilunya. Untuk Pemilu 2009 yang akan terjadi pada 9 April 2009, kira-kira 190 hari lagi dari sekarang, kita akan menggunakan UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, “berkah” reformasi politik juga tergambar dengan menjamurnya jumlah parpol yang akan bersaing merebut jabatan empuk di Legislatif baik tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sungguh, negeri ini akan diramaikan dengan para politisi, (lebih…)

Read Full Post »

Tanjungpinang, CyberNews. Seorang pakar politik menyeru agar istilah politisi busuk digaungkan di Kepulauan Riau menjelang Pemilihan Umum 2009 agar mereka tidak terpilih kembali menjadi wakil rakyat. Gerakan menolak politisi busuk secara serentak perlu kembali digalakkan di tengah masyarakat, kata Dekan Fisipol Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Zamzami A Karim, di Tanjungpinang, Sabtu (21/6).
(lebih…)

Read Full Post »

Batam-RoL– Kabinet pelangi (terdiri atas orang dari beberapa partai), tidak dikenal dalam sistem pemerintahan demokrasi parlementer Malaysia, sehingga kabinet Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi tetap hanya diisi unsur-unsur dari Barisan Nasional (BN).Sistem di Malaysia tegas memisahkan peran partai yang berkuasa dengan partai oposisi, kata cendekiawan politik Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Zamzami A Karim MA di Tanjungpinang, menanggapi pelantikan Abdullah Ahmad Badawi sebagai PM Malaysia periode II, Senin.

Hal itu, katanya, berbeda dengan sistem di Indonesia yang memungkinkan pembentukan kabinet pelangi sehingga selain merapuhkan eksekutif juga mengakibatkan ketidakjelasan antara partai berkuasa dengan yang seharusnya berperan sebagai oposan.

Pada pemilihan umum 8 Maret 2008, untuk pertama kali sejak 40 tahun menjadi partai yang berkuasa, BN gagal memperoleh dukungan suara mayoritas mutlak atau sedikitnya 148 kursi dari 222 kursi parlemen.

BN hanya mendapatkan 140 kursi, sedang tiga partai politik oposisi (di Malaysia diistilahkan pembangkang) menunjukkan perolehan kemajuan dengan total 82 kursi setelah pada pemilu 2004 hanya mendapat 19 kursi.

“Kekalahan” dalam pemilu 2008, kata Zamzami, pada sisi lain merupakan pemicu bagi PM Abdullah Badawi untuk memperbaiki kinerja birokrasi/kabinetnya antara lain dengan mengelola berbagai masukan dari partai oposisi.

Oposisi di Malaysia akan tampil lebih dinamis dan kemenangan mereka, tak lepas dari peran Abdullah yang dalam periode kepemimpinannya membuka kran kebebasan bagi oposisi untuk berkembang, menurut Zamzami yang juga Dekan Fisip dan Pembantu Rektor I UMRAH.

Di periode II, PM Abdullah selain perlu membersihkan birokrasinya dari korupsi, mengggerakkan perekonomian setelah stagnan, juga perlu mengantisipasi Anwar Ibrahim yang mungkin akan berjuang bagi penghapusan undang-undang yang membatasi dirinya terjun ke dunia politik.

Mengenai hubungan pemerintahan Malaysia hasil pemilu 2008 dengan Indonesia, Zamzami berpendapat, tidak akan ada perkembangan signifikan dan akan tetap diwarnai percekcokan sebagai mana biasa terjadi dalam kehidupan bertetangga dekat.

Bagi Pemerintah Indonesia, katanya, peningkatan kemakmuran tetap merupakan cara untuk memperbaiki pola hubungan dengan Malaysia yang lebih maju secara ekonomi dan karenanya selama ini bagi Indonesia terkesan arogan.
Perbedaan tingkat kesejahteraan kedua negara dapat dilihat dari nilai tukar rupiah terhadap ringgit yang mendekati Rp 3.000 untuk satu ringgit Malaysia (RM).

Kecenderungan itu perlu diatasi di dalam negeri Indonesia sendiri, setelah pada lima tahun lalu pun 1 RM sudah sama dengan Rp2.250, dua tahun silam 1 RM naik menjadi Rp 2.500, dan sekarang sudah Rp 2.880 per 1 RM. antara/mim

resource http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=326469&kat_id=23

Read Full Post »

Batam-RoL–Seorang cendekiawan ilmu politik di Tanjungpinang, Kepulauan Riau dilaporkan Antara, meramalkan Anwar Ibrahim dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) akan menjadi tokoh sentral yang mengilhami kalangan muda Malaysia untuk tidak lagi ragu-ragu dalam berpolitik.Kemampuannya sebagai orator, intelektual pembawa bendera Islam, kedekatannya dengan negara Islam maupun Barat, akan menjadikan Anwar ditokohkan politisi muda negerinya, kata Dekan Fisip Universitas Maritim Raja Ali Haji , Zamzami A Karim MA, di Tanjungpinang, Ahad.

Zamzami Karim mengatakan, politisi muda Malaysia, misalnya di UMNO, selama ini lebih terbiasa bersikap menunggu nasib untuk menduduki jabatan lebih tinggi, tetapi kini Anwar akan mengilhami mereka untuk maju dan lebih berinisiatif dalam perpolitikan.

Dengan dukungan media Malaysia yang juga mulai terbuka, katanya, kelas menengah di kampus-kampus pun akan berani mengekspresikan diri setelah selama ini bersikap sangat berhati-hati.

Selain oleh media, faktor Anwar akan diperhitungkan orang-orang tua UMNO untuk mulai memberi kepercayaan kepada kader muda untuk naik tanpa selalu harus menunggu orangtua atau terlebih dahulu harus menunjukkan prestasi luar biasa.

Pemilu Sabtu 8 Maret 2008 telah menghasilkan Barisan Nasional (BN, koalisi 14 partai, di antaranya UMNO) tak lagi menguasai dua pertiga kursi dari total 222 di parlemen, melainkan hanya 140 atau 63,06 persen.

PKR yang dalam pemilu 2004 hanya memperoleh satu kursi, meroket dengan perolehan 31 buah (13,96 persen), sementara Partai Aksi Demokratik (DAP) mendapat 28 (12,36) dan Partai Pan Islam se-Malaysia (PAS) 23 (10,36).

Bagi BN , hasil pilihan rakyat itu merupakan kekalahan terbesar sejak 40 tahun berkuasa. Sebaliknya bagi tiga partai oposisi, perolehan 82 suara merupakan kemenangan besar setelah pada pemilu 2004 hanya menduduki 19 kursi di parlemen.

Kemenangan tiga partai oposisi, menurut Zamzami, akan membuat Abdullah Ahmad Badawi selaku PM dalam masa jabatan baru, menghadapi kekuatan penyeimbang di parlemen setelah sebelumnya relatif hanya dikelilingi orang-orang yang berperilaku “asal bapak senang”.

Dengan kemenangan mayoritas-sederhana, Abdullah Badawi akan menghadapi oposisi dinamis yang meski pun tidak signifikan pengaruhnya di parlemen, tetapi tidak selalu mudah dalam membuat suatu kebijakan.

Sisi baiknya, kata Zamzami, keadaan itu akan bermanfaat bagi PM selaku kepala pemerintahan untuk memperbaiki kinerja rezim birokrasinya. pur

Read Full Post »


Tanggal 5 Desember 2007 adalah hari H pencoblosan untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang Periode 2007-2012. Sebagian mahasiswa STISIPOL terlibat sebagai relawan pemantau dari JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat). Para pemantau di dampingi oleh volunteer dari The Asia Foundation (TAF) Jeremy Gross.

Suasana TPS yang kami pantau terlihat lengang, karena hari hujan, tak ramai penduduk yang datang ke TPS-TPS. Melihat itu, kami memperkirakan tingkat partisipasi politik masyarakat kurang dari 50%.

Read Full Post »

Makalah untuk diskusi Budaya bertema “Pengaruh SEZ terhadap Budaya Lokal” oleh Dewan Kesenian Propinsi Kepri tanggal 3 November 2007 di Tanjungpinang.

Pengantar

Kebudayaan pada dasarnya merupakan produk kemanusiaan manusia. Karena nilai kemanusiaanlah maka sebuah kebudayaan dapat diangkat menjadi produksi yang memiliki arti dalam kehidupan sebuah bangsa. Oleh karena produk kebudayaan sangat inheren di dalam aktifitas akal budi manusia dalam merespon berbagai dinamika persoalan dalam kehidupan, maka lama kelamaan kebudayaan itu akan mengalami perubahan sesuai dengan setting ipoleksobud hankam yang dihadapi oleh bangsa tersebut.

Memperhatikan kedinamisan tiga unsur Pasar, Negara dan Masyarakat sebagai satu kesatuan, maka relasi ketiga unsur
tersebut juga sangat diwarnai oleh setting sebagaimana disebutkan di atas. Ipoleksosbud Hankam, sebuah kerangka setting kehidupan sebuah bangsa memberi warna dan bentuk kepada relasi tiga unsur tersebut. Pada suatu ketika, Negara bisa sangat mendominasi kedua unsur lainnya, adakalanya Masyarakatlah yang menentukan, dan ada ketika lain dimana Pasarlah yang mendiktekan relasi tersebut. Maka dari itu, untuk mendiskusikan topic kita pada kali ini, maka kita harus menakar kekuatan manakah dari ketiga unsur tersebut yang ‘hari-hari gini’ memegang kendali dominasi. Dengan demikian kita dapat pula membaca warna IPOLEKSOSBUD HANKAM negeri ini.

SEZ: Dominasi Pasar ataukah Negara?

Sebelum membedah pengaruh SEZ terhadap Budaya Lokal, perlu kiranya memahami situasi seperti apakah yang mewarnai begitu mengebu-gebunya kita minta dijadikan daerah ini sebagai SEZ alias KEKI? Apakah ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi menuju cita-cita kesejahteraan? Ataukah ia merupakan setting yang dirancang oleh Negara (baca: Pusat) secara struktural dalam mengatasi dua tantangan, yaitu globalisasi ekonomi berwarna neolib[1]) dan kelangkaan sumber daya domestik untuk mempertahankan sustainabilitas kekuasaan. Posisi ‘terjepit’ Negara menunjukkan adanya pemain lain, yaitu kekuatan Pasar yang dibawa oleh arus globalisasi neolib.

Bila dilihat secara struktural, kekuatan Negara dan Pasar seringkali berorientasi pragmatis, berjangka pendek, dan bersifat instant. Negara butuh sumberdaya yang cukup untuk ‘menjadi bensin pembakar’ mesin pembangunan yang memerlukan keputusan dan cepat ketersediaan yang segera. Nah, Pasar adalah pemain rasional, yang tentu saja sangat pragmatis meraih dan mengejar berbagai peluang untuk akumulasi modal dan kekayaan. Tidak banyak pemain dalam wilayah Pasar yang berasal dari penduduk tempatan, biasanya berasal dari luar daerah, bahkan umumnya expatriate. Jangan diharapkan adanya nasionalisme, kesetiaan, dan toleransi di wilayah ini. Yang berlaku adalah hukum rimba ekonomi laizzes faire.

Ketika Negara terdesak, dapatkah Masyarakat memenuhi keinginannya? Bila tidak, maka Pasar akan mengambil peran besar dan bisa jadi mengubah peran negara sebagai alat komprador alias budak bagi kepentingan pelaku Pasar. Mengapa kepada masyarakat harapannya pesimis?

Budaya Lokal: Untuk Apa?

Bila SEZ adalah kebutuhan masyarakat, maka perubahan yang berlangsung harusnya bersifat kultural. Pendekatan kultural lebih memakan waktu yang lama, tetapi memiliki daya tahan yang tinggi. Bila SEZ bertujuan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan bagi masyarakat, maka tentu saja kultur masyarakat harus dibangun agar tidak menjadi budak atau kuli di dalam wilayahnya sendiri[2].

Dalam konteks inilah, saya melihat SEZ selain sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal, bisa pula sebagai restrospeksi menggali kembali nilai budaya progresif yang dimiliki oleh kaum Melayu berkurun-kurun yang lalu. Bukankah, bangsa Melayu pernah menguasai pasar pada 5 abad (?) yang lalu?

Pernah ada keyakinan bahwa usaha demikian memiliki titik cerah, ketika Syed Hussein Alatas seorang sosiolog dari Malaysia menulis buku dengan judul The Myth of Lazy Native. Bahwa cercaan terhadap orang tempatan yang selalunya lebih malas, tidak kompetitif, dan terbelakang ketimbang pendatang adalah hanya sebuah mitos yang diciptakan. Kalau demikian, bisakan melalui SEZ ini, kaum tempatan mewarnai budaya pasca masuknya pengaruh globalisasi pasar ekonomi neolib?

Sekali lagi, bahwa kebudayaan adalah merupakan produk kemanusiaan manusia. Jadi ia dihasilkan oleh kesadaran yang sesadar-sadarnya akan realitas kehidupan yang dinamis dan terus berubah. Istilah ‘budaya lokal’ mengandung konotasi (maaf) kejumudan. Kecuali bila kita percaya bahwa budaya yang dimiliki masyarakat tempatan memang luhur, mulia, progresif dan adalah produk kesadaran kemanusiaan manusia dimana ia hidup dinamis dalam setting sosio-kultural yang tak mengenal jeda.

Seorang sosiolog terkemuka Daniel Bell dalam bukunya The Future of Technology (2001) mengidentifikasi manusia secara taksonomi di samping sebagai homo sapiens, manusia juga merupakan homo faber dan homo pictor. Sebagai homo sapiens, diartikan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, thingking or knowing man. Bell mengatakan: Homo faber is a being capable of fabricating things: a toolmaker. Homo pictor is a being who can picture things: an imaginator

Jadi manusia di samping memiliki kemampuan berpikir dan berimajinasi, ia juga diberi kelebihan untuk menciptakan barang sesuatu. Hanya pertanyaannya adalah if you can imagine things, can you also make them? Perbedaan kemampuan inilah yang kemudian membentuk perbedaan taraf kebudayaan dan teknologi sesuatu masyarakat. Sangat banyak kita jumpai orang yang bisa berimajinasi, tetapi sedikit sekali yang mampu mencipta wujudnya. Misalnya, dulu orang berimajinasi merindukan sampai ke bulan, tetapi yang mewujudkannya baru sedikit.

Jadi ketinggian atau keunggulan karya budi manusia yang kita sebut budaya itu, adalah produk kesadaran atas realitas kehidupan yang dinamis, yang justru memberi bentuk dan arah bagaimana relasi antar unsur Masyarakat, Negara dan Pasar yang seharusnya. Kalau kita sedang menggebu-gebu mewujudkan SEZ di kawasan ini, jangan-jangan itulah taraf kebudayaan kita, karena melalui sistem budaya yang kita setting secara struktural itulah, pemenuhan kebutuhan fisik dan moral akan “dimainkan“.

Berkaitan dengan adanya SEZ ini, mengapa kita mempersoalkan nasib budaya lokal? Kalau SEZ merupakan kebutuhan masyarakat, maka tugas komponen masyarakat untuk memberi ruh dinamis kepada kesadaran manusia lokal agar ‘melek’ alias bangun dari mimpi manja mereka. Karena, secara substantif harus disadari bahwa Negara dan Pasar sedang memegang kendali dominasi, bukan masyarakat.

Wallahua’lam


[1] Mengenai gempuran globalisasi terhadap politik dan kebijakan nasional dapat dibaca juga buku Jacques B Gelinas, Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization, LondonNew York: Zed Books, 2000. & Globalisasi digambarkan seperti kendaraan besar yang melaju kencang, juggernauts.

[2] Mengenai pandangan yang mendukung globalisasi dan menolak anggapan bahwa globalisasi melindas kekuatan lokal dari negara-negara miskin dikemukakan oleh dua orang editor dan koresponden The Economist yaitu John Micklethwait & Adrian Wooldridge, Masa Depan Sempurna: Tantangan dan Janji Globalisasi, Jakarta: Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Read Full Post »

Oleh Zamzami A Karim

Pengamat Politik STISIPOL Raja Haji

Empat pasangan kandidat calon Walikota dan wakilnya telah didaftarkan ke KPUD Tanjungpinang. Setelah melewati fase perkenalan dan sosialisasi kepada publik, para kandidat lalu dideklarasikan oleh masing-masing perahunya. Segala syak wasangka dan spekulasi yang beredar di tengah publik pemilih telah terjawab. Proses negosiasi parpol dan kandidat telah mencapai klimaksnya dengan deklarasi dan pendaftaran pasangan calon 12 September lalu.

Kalau boleh dikelompokkan ke dalam fase-fase “pertarungan” menuju kursi Gurindam 1, maka fase ini boleh disebut fase tawar menawar, di mana aktornya hanya terbatas pada parpol, sang kandidat, dan tim suksesnya. Ini merupakan wilayah negosiasi antara para pihak seperti simbiosis mutualisme, di mana ada kandidat yang berjuang mencari perahu tumpangan, dan sebaliknya ada parpol yang mencari kandidat yang sesuai untuk diusung.

Hasilnya ada kandidat yang sejak awal sudah dibesar-besarkan melalui media dan sarana polling pendapat umum, ternyata tidak mendapatkan parpol pengusung sebagai perahunya. Begitu juga kita melihat ada parpol yang sejak awal diperhitungkan bakal mengusung kadernya, ternyata hanya mengusung calon ekstenal partai, bahkan ada yang gagal memperoleh “penumpang”.

Karena fase ini merupakan fase terbatas di kalangan parpol dengan sang kandidat, maka wajar bila muncul berbagai spekulasi. Publik, dalam fase ini, berperan sebagai penonton yang tidak terlalu dipertimbangkan dalam penentuan pasangan calon atau memilih parpol pengusung.

Munculnya empat pasangan kandidat di atas, membuktikan bahwa publik pemilih memang berada di luar arena pertimbangan dalam tawar-menawar. Padahal, berbeda dengan Pilwako 2002 yang lalu, publik pemilih memang diposisikan sebagai penonton, sedangkan pemainnya adalah 25 orang anggota DPRD, sehingga dengan mudah untuk melakukan kalkulasi politik. Pilkada langsung saat ini tidak bisa lagi mengabaikan harapan publik, walaupun parpol masih merupakan satu-satunya kendaraan.

Secara akal sehat, kita tentu akan terkejut dengan figur-figur yang ternyata muncul dalam pendaftaran kandidat. Ada beberapa alasan mengapa kita terkejut. Pertama, ada pasangan kandidat yang belum begitu popular atau belum dikenal di mata publik. Kedua, ada juga figur yang “popular” tetapi jauh dari harapan publik. Ketiga, ada figur kuat dan popular yang dengan PDnya (baca: over confidence) justru memilih pasangan yang diluar harapan masyarakat. Yah karena itulah, politik sering diartikan sebagai the art of possible, seni serba kemungkinan.

Read Full Post »

Dalam suatu seminar nasional yang diselenggarakan di Medan 24-27 April 2007, saya mengemukakan pendapat bahwa Pemekaran Wilayah jangan terlalu dipandang secara negatif.

Banyak contoh daerah-daerah yang dimekarkan bisa berkembang seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Walaupun kita tidak boleh menutup mata munculnya berbagai ekses negatif di beberapa wilayah di Nusantara ini akibat konflik pemekaran wilayah.

Seminar tersebut membahas Pemekaran Wilayah Sumatera dalam Perspektif Sejarah yang diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Makalah lebih lengkap akan saya posting secara terpisah.

Hampir semua pembicara dan peserta Seminar mengutarakan kerisauan mereka tentang semakin gencarnya daerah-daerah menuntut pemekaran wilayah sejak UU No. 22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan. Memang di dalam UU tersebut di atas, dimungkinkan adanya pemekaran daerah, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan terjadi penggabungan daerah, atas usul DPRD dan Gubernur daerah bersangkutan. Hanya saja selalu yang dituntut adalah pemekarannya, sedangkan usulan penggabungan daerah sangat jarang diajukan.

Demikian nuansa yang berkembang dalam Seminar Nasional Pemekaran Wilayah dalam Perspektif Sejarah yang dilaksanakan oleh Direktorat Kebudayaan dan Pariwisata di Medan 24 – 27 April 2007 yang lalu. Bahkan Dirjen Sejarah dan Purbakala dalam sambutannya juga menyuarakan kerisauan beliau tentang nasib keutuhan NKRI berikutan dengan gencarnya pemekaran wilayah. Karena tidak kurang ekses konflik horizontal dan vertikal terjadi sangat keras dalam perjuangan pemekaran wilayah tersebut. Dan apabila ini berlangsung terus, dikhawatirkan akan mengancam keutuhan nsional dan mengancam keharmonisan hubungan sosial di tingkat lokal.

Pada beberapa daerah, pemekaran wilayah justru dipandang sebagai ajang pemekaran birokrasi yang berujung pada pemborosan anggaran negara untuk membiayai daerah-daerah baru dimekarkan melalu Dana Alokasi Umum (DAU). Disinyalir, keinginan untuk membentuk kabupaten/kota baru lebih bermotifkan pada upaya untuk merebut DAU tersebut.

Selain itu, motif kepentingan politik elit lokal juga selalu mewarnai gegap gempitanya daerah-daerah memekarkan wilayahnya. Misalnya untuk menambah jabatan-jabatan struktural baru, dan calon-calon Gubernur, Bupati/Walikota, dan pembentukan DPRD baru. Bagi elit lokal yang kalah dalam Pilkada atau Caleg yang belum mendapat kursi di DPRD induk, wacana pemekaran wilayah bisa menjadi harapan baru untuk merebut jabatan penting di wilayah baru tersebut.

Prof Dr. Mestika Zed dari Universitas Negeri Padang, merisaukan pandangan saya yang agak krontroversial dari arus utama pandangan para peserta seminar. Tapi beliau dapat memaklumi pandangan saya, karena memang untuk kasus Provinsi Kepri, fakta dinamika pembangunan pasca pemekaran wilayah sejak 1999 hingga 2007, menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan. Kawasan Kepri menjadi tumpuan harapan sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Nasional melalui gerbang masuknya investasi ke wilayah ini, terutama dengan ditetapkannya tiga kawasan Bintan, Batam dan Karimun (BBK) sebagai Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zone).

Read Full Post »

Memberikan suara dalam suatu pemilihan pejabat politik secara bebas dan fair merupakan salah satu indikator partisipasi politik yang tinggi, dan sekaligus menggambarkan berjalannya demokrasi secara umum. Kontestasi dan kompetisi di antara para kandidat yang berminat menduduki jabatan-jabatan politik diatur dengan mekanisme pemilihan yang cermat agar, proses demokrasi menghasilkan pemimpin yang mendapat dukungan legitimasi yang memadai, sekaligus berkualitas.

Persoalannya adalah bahwa kita sedang berada pada puncak demokrasi dengan pemilihan langsung untuk jabatan politik, baik bagi Presiden maupun Kepala Daerah. Dalam pemilihan langsung, memang faktor figuritas dan popularitas menjadi unsur yang dominan menentukan preferensi pilihan publik. Untuk jabatan kepala Negara, tentu akan kita hadapi ramai kontestan atau kandidat yang memenuhi selera popular, sehingga tersedia banyak pilihan dalam kontestasi politik di tingkat nasional.

Lain halnya dengan di tingkat daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Pada beberapa daerah, akan ditemukan kelangkaan tokoh atau figur yang memenuhi standar popularitas sekaligus kualitas, sehingga bisa terjadi para kandidat yang bersaing dalam Pilkada adalah sama-sama “pisang busuk”, sehingga menyulitkan bagi publik untuk melepaskan suaranya dalam pilkada langsung. Ini menyangkut nasib warga suatu daerah. Apalagi kesempatan untuk mencalonkan diri harus menggunakan perahu partai politik, dan masih tertutup peluang bagi calon independen. Amat sulit mempercayai bahwa partai-partai politik melakukan rekrutmen pemimpin politik berdasarkan rasionalitas dan obyektifitas. Seringkali biaya tiket perahu yang mahal menjadi penghalang munculnya calon-calon berkualitas sekaligus popular, tetapi berkantong tipis.

Karena itulah, semakin besarnya desakan wacana untuk memungkinkan calon independen ikut dalam kontestasi pilkada. Alasannya tentu karena peraturan perundangan tidak mengatur hal tersebut, sehingga amat riskan bagi KPUD meloloskan calon independen.

Bagaimana pula bila kontestan terbatas dan bahkan bila tidak ada figur populer yang berkualitas bisa ditampilkan dalam pilkada? Mungkinkah pilkada dilakukan dengan cara aklamasi? Dan benarkah aklamasi menyimpang dari semangat demokrasi?

Wacana aklamasi belum seramai wacana calon independen dalam diskusi pilkada langsung. Ia merupakan salah satu bentuk dari pemilihan langsung, dengan calon tunggal yang disepakati bersama oleh semua warga. Suatu mekanisme demokrasi langsung yang mempunyai akar historis dalam masyarakat kita jauh sebelum penjajahan Barat mengintervensi tatacara kita. Tentu saja ini akan menghemat sebagian besar anggaran pilkada, dan sekaligus mengurangi resiko politik pasca pilkada yang tak kalah mahal harganya.

Tetapi tentu ada alasan menolaknya, misalnya karena itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebagaimana halnya dengan wacana calon independen. Akan ada yang mempersoalkan keabsahan mekanisme aklamasi dengan ukuran demokrasi langsung konvensional.

Sebagaimana halnya dengan wacana calon independen, wacana mekanisme aklamasi bisa saja dipertimbangkan dalam perubahan peraturan undang-undang, demi tetap menjaga agar jangan sampai terjadi deadlock atau kekosongan pemerintahan yang berkepanjangan ketika tidak ada calon-calon yang memiliki kapasitas untuk mencalonkan diri. Atau mungkin karena posisi sang incumbent yang terlalu kuat sehingga kecil kemungkinan untuk disaingi.

Ini hanya wacana yang perlu dipertimbangkan dalam perundang-undangan kita.

Oleh: Drs. Zamzami A Karim, M.A

Ketua STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Wakil Ketua KAGAMA Tanjungpinang

Read Full Post »